Dinda

Dinda, gadis manis 10 tahun, bintang di sekolahnya, SD Negeri Sukamulya 01. Satu hal yang membuat Dinda dielu-elukan adalah kejeniusannya bermain catur. Untuk ukuran anak seusianya, apalagi itu perempuan, bermain catur tentunya bukanlah kemampuan yang biasa. Ayahnya lah yang mengenalkan bidak-bidak catur padanya. Hingga akhirnya Dinda tumbuh menjadi pemain catur junior yang disegani.

Beberapa kali Dinda sukses menyabet gelar juara catur tingkat junior di sekolahnya. Bahkan, tak jarang ia juga mewakili Kecamatan Sukamulya untuk bertanding di tingkat kabupaten. Sayangnya kesempatan bertarung di level yang lebih tinggi belum juga datang. Tapi Dinda tak patah semangat. Ia terus melatih kemampuannya. Mulai dari teman sebaya, sampai orang dewasa, menjadi lawan tandingnya. Satu keinginannya, mewakili Indonesia di level internasional, kelak.


Dan hari ini, kejuaraan catur junior tingkat Kabupaten Serang digelar. Dinda, ditemani ayahnya, dan dukungan teman-teman dan warga Kecamatan Sukamulya, berangkat ke kota, bertarung dengan jagoan catur cilik lainnya.

Tekadnya: harus lolos ke tingkat provinsi!

Beberapa hari sebelumnya, ia begitu serius mempersiapkan diri. Demi mewujudkan tekadnya, ia rela menghabiskan waktu bermain hanya untuk berlatih catur. Buku catur, papan dan bidak catur, bahkan program komputer, menjadi temannya sehari-hari. Wulan, temannya, beberapa kali kali datang berkunjung, mengajak Dinda bermain bersama Isti, Maya, dan Indri. Mereka teman dekatnya. Tapi semua ajakan Wulan ia tolak. Padahal biasanya, Dinda bisa bermain seharian dengan teman-temannya. Tapi tidak untuk hari-hari itu.

Hari ini, ia siap mempertaruhkan semua usahanya. Demi tekad lolos ke tingkat provinsi. Satu alasan lainnya, yang membuat tekadnya kian membuncah, ini kesempatan terakhirnya berlomba. Tahun depan ia harus lebih fokus ke ujian nasional. Ia harus lulus dengan baik. Tekadnya yang lain.

Dan lomba pun dimulai.

Lomba didominasi anak laki-laki. Dinda adalah satu diantara tiga peserta perempuan yang ikut bertanding. Pada lomba ini, Dinda harus berhadapan dengan pecatur cilik dari kecamatan lain, laki-laki, dan perempuan. Berbekal pengalamannya, Dinda sudah terbiasa dengan suasana ini.

Lomba pun memasuki babak demi babak. Banyak pecatur berguguran. Di tengah lomba, Dinda sesekali menoleh ke ayahnya, meyakinkan ayahnya masih terus setia memberinya dukungan. Ayah Dinda, hanya bisa memberi dukungan dari pinggir arena. Dan setiap kali Dinda meneriakkan "Skak mat!", tanda ia berhasil mengalahkan lawannya, senyum lebar pun terlempar dari bibirnya. Ayah pun bertepuk tangan bangga.

Tibalah pada babak final. Dan Dinda, pecatur cilik dari Kecamatan Sukamulya itu, lagi-lagi berhasil mencuri satu tiket. Seolah sudah menjadi langganan. Tapi tunggu dulu, siapa lawannya?

Tantri, siswi SD pindahan dari Bandung, menjadi lawan Dinda di final. Tantri berhasil mengalahkan Alvin, lawan Dinda di final tahun lalu. Melihat gelagat Dinda yang tampak gugup, ayah mencoba menenangkan.

"Dinda takut yah? Dinda nggak boleh takut. Kan Dinda udah latihan. Pasti bisa"

Dinda hanya tersenyum, berharap kata-kata ayahnya bisa menjadi motivasi lebih untuknya.

Dan inilah! Babak final turnamen catur junior tingkat Kabupaten Serang.

Langkah demi langkah diambil kedua pecatur. Bidak-bidak berpindah posisi. Dinda, Tantri, semuanya tegang. Tangan-tangan mungil itu dengan penuh perhitungan, memindahkan bidak-bidak catur dari petak satu ke petak lainnya. Penonton hanya terdiam, penuh harap.

Ini babak final, Dinda!

Tantri, secara mengejutkan bermain begitu brilian. Langkah-langkahnya berhasil membuat Dinda terdiam sejenak, berpikir keras, sebelum bisa membalas. Tantri terus menekan, Dinda kian tertekan. Hingga tiba pada satu langkah, Dinda salah perhitungan. Ayah menyadarinya, tapi tak bisa berbuat lebih, selain hanya berharap, Tantri tak menyadari kesalahan Dinda.

Tapi...

"Skak mat!"

Tantri mengunci Dinda. Dinda tak bisa bergerak. Ia terdiam. Kalah. Mimpinya pupus. Lagi.

Penonton pun berdiri, bertepuk tangan, memberi selamat pada sang pemenang. Tantri melepaskan senyumannya, setelah satu jam lebih tak secuil senyum pun terlihat dari mukanya. Ia menang.

Dan Dinda, masih terpaku di kursinya. Menatap kosong bidak-bidak catur di hadapannya. Tangannya kaku, tak bergerak. Dan air mata pun menetes. Ia kalah. Lagi.

Ayah datang menghampiri Dinda. Mencoba menghibur putrinya. Ia ulas punggung Dinda yang masih saja terduduk. Ia usap airmata Dinda. Tapi tangis Dinda justru menjadi.

"Ayah... Dinda kalah lagi", ujar Dinda.

"Udah. Nggak apa-apa. Ayah tetep bangga kok sama Dinda. Buat ayah, Dinda tetep juara deh. Senyum donk"

"Ayaaahh.."

Ayah dan putrinya itu pun berpelukan. Dinda tak peduli dengan keramaian yang mengelu-elukan nama sang pemenang. Ia terus terisak.

"Tuh. Nama kamu dipanggil. Sana. Ambil medalinya. Bunda kamu pasti bangga", Ayah tersenyum.

Dinda membalas senyum ayahnya. Seolah kata "bunda" yang diucapkan ayahnya menjadi penyembuh hatinya yang baru saja terluka.

"Iya Yah. Dinda udah cukup main caturnya. Sekarang Dinda mau fokus belajar. Biar lulus. Hehe"

"Gitu donk. Anak ayah emang jagoan", kata ayah setelah memberi kecupan manis pada putrinya.

Dinda pun pergi menuju podium juara. Disana sudah berdiri Tantri dan Alvin yang tersenyum padanya seolah menyambut "sang juara". Dinda menyalami kedua lawannya itu, memberi ucapan selamat. Tantri dan Alvin pun membalas dengan senyuman. Tak lama, medali juara telah menggantung di leher mereka. Untuk kesekian kalinya, medali berwarna perak itu menggantung di leher Dinda.

"Ini untuk ayah dan bunda", kata Dinda dalam hati.


Tulisan ini ditujukan untuk Bapak dan Ibu calon anggota dewan. Yang sepertinya belum memiliki jiwa yang siap menerima kemenangan dan menghadapi kekalahan. Semoga mengena.

p.s. Maaf yah, aku kurang bisa bernarasi :-P

Gambar ilustrasi dari download-gambar.com dan ruangbacaanak.blogspot.com

Post a Comment

22 Comments

  1. Masih lebih hebat Dinda yang berusia 10 tahun ya, daripada para calon anggota legislatif yang protes akibat kekalahannya, apalagi sampai merugikan warga sekitar. Kasihan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak.. Aku ya nggak habis pikir. Pada kemana larinya pelajaran moral yang dulu diajarin ke para calon anggota dewan yang terhormat itu..
      *jadi kesel sendiri* b-(

      Delete
  2. Pelajaran sederhana, tapi begitu susah untuk diterapkan. Apalagi yang punya ego besar macam caleg ini. Heheh.. Kenapa? Ya mungkin aja mereka uda keluar sekian duit, jadi ngga rela kalo sampe ngga menang. :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. aneh ya Beb hrs keluar byk duit Cuma untuk jd caleg, kasihan Dong ya ya nggak punya uang byk

      Delete
    2. Tapi Dinda juga harus ngerelain waktu bermainnya loh beb. Itu berharga bagi dia. Tapi akhirnya dia harus kalah..

      Delete
    3. To Mbak El: iya mbak. Kadang kita nggak realistis. Sebenernya, aku pernah baca, peluang lolos jadi anggota dewan, apalagi DPR RI, itu cuma 7 dari 100 atau 7%. Dan 93% pasti gagal. Andai kita tahu angka ini, harusnya kita siap donk kalo seandainya kalah. Lah wong emang peluangnya kecil.. :-D

      Delete
    4. apa ini terpengaruh sama budaya dan SDM nya ya?

      Delete
    5. Sepertinya mbak. Karena banyak tekanan disana dan disini, akibatnya kebanyakan dari kita lebih memilih cara instan. Nggak peduli apakah itu peluangnya kecil, atau apakah itu cara yang kurang tepat..

      Delete
    6. Mbak Ely : bener Mbak, memang harus punya duit deh kayaknya. Saudara ku kan ada yang nyaleg, dia ngga pake duit buat serangan fajar gitu tapiii tetep aja keluar 50 jeti buat nyediain makan tim suksesnya.. Belom lagi keperluan laen. Padahal 'cuma' jadi caleg dprd loh.. Apalagi yang DPR kan..

      Delete
    7. Bang Arif : kalo menurut ku itu sih pilihan, Bang.. Karena ada yang Dinda kejar kan, yaitu pengen menang kejuaraan catur, maka memang ada hal yang harus ia korbankan.. Lagipula kalo memang yang namanya sahabat pasti mau kok main bareng lagi. Ciyus. Uda ngebuktiin soalnya :p

      Delete
    8. Nah itu dia persamaannya. Sama-sama ada yang dikejar, jadi harus mengorbankan sesuatu :-D
      Yang patut disayangkan memang tidak sedikit oknum caleg kita yang belum bisa menerima kekalahan. Memang sih pengorbanannya pasti tinggi banget. Tapi ya gitu deh :-P

      Delete
    9. terbayang lagi org pinter tp kagak ada byk duit ya? nggak bisa nyaleg kalah sama yg uangnya segunung :(

      Delete
    10. Itulah demokrasi di negeri kita mbak. Tapi bukan berarti yang duduk di pemerintahan sekarang cuma orang-orang yang uangnya segunung loh. Banyak juga orang-orang yang bukan cuma ber-uang, tapi juga emang punya ilmunya :-)

      Delete
    11. iya, saynag mereka kurang terekspos krn yg sering diberitakan yg jelek jelek ya?

      Delete
  3. Makjleb banget, serasa di tampar tuch para caleg :-(

    ReplyDelete
  4. itu para anggota dewan kalah dong sikapnya sama si DInda? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hoho.. iya mbak.. berarti narasi aku ngena ya.. haha.. :-d

      Delete
  5. Replies
    1. Hehe.. tapi bukan semua anggota dewan kok mbak. Cuma beberapa calon aja yang sepertinya belum cukup mampu menjadi sekuat Dinda

      Delete
    2. jd kalah Dong sama anak kecil?:D

      Delete

Dear teman. Silakan berkomentar. Tapi khusus untuk post yang telah terbit > 7 hari, mohon maaf komentar kamu nggak langsung muncul, karena harus dimoderasi. Trims