Liburan (part 3/habis)

Seperti janji di post sebelumnya, kali ini aku mau nyeritain pengalaman liburan kemaren di session Fun Palm Oil Rally.

Masih di lokasi yang sama, hari itu Minggu (13/9).  Selepas ziarah, kami sedikit keliling perkampungan asli penduduk suku (suku apa ya nyebutnya ^^) setempat. Perkampungan yang diisi dengan rumah-rumah khas, yang katanya disebut rumah panggung. Bentuknya tidak jauh berbeda tiap rumah. Satu yang aku tau, asal mula adanya rumah panggung adalah lokasi perkampungan yang biasanya ada di pinggir sungai. Biasanya, banjir akan terjadi setiap musim hujan dan air sungai meluap. Makanya penduduk asli menyiasatinya dengan membangun rumah yang bebas banjir. Salah satu desain yang saat itu terpikirkan adalah rumah panggung. Entah kenapa, sampai sekarang budaya rumah penggung tetap lestari. Bahkan, rumah yang ada di atas bukit-pun masih aja pake desain rumah panggung. Padahal jelas-jelas nggak akan kebanjiran.


Tapi, setelah dipikir-pikir (iseng juga aku mikirin yang kyk gini ^^), ternyata ada alasan lain yang lebih masuk akal. Perkampungan penduduk asli biasanya dekat dengan hutan. Hutan disini bukan hutan biasa, tapi hutan rimba Sumatera yang terkenal dengan harimaunya. Nah, daripada jadi korban si maung sumatera, mending bikin rumah yang nggak bisa dimasukin si maung. hehehe...
 Nah, kalo tinggi gitu kan si maung ogah naik donk... ^^

Oke deh, udahan dulu bahas rumah dan rumahnya.

Setelah keliling masuk keluar beberapa rumah sanak saudara yang rasa-rasanya aku kurang kenal (sekali lagi harap maklum aja, udah lama nggak kesini), kami langsung cabut. Kali ini mau ke rumah bibi yang lokasinya sekitar 10 km dari perkampungan ini.

Nah, disinilah cerita serunya, Fun Palm Oil Rally. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 1,5 jam itu terasa seru karena ada sensai yang berbeda. Berasa ikutan rally kelas dunia. Dengan berbekal sebuah Mitsubishi Strada yang bener-bener cocok untuk rally Dakkar, kami terobos jalanan yang sedikit bergelombang diselingi dengan mulusnya aspal, di sepanjang perkebunan kelapa sawit. Kalo sering liat rally Indonesia yang sering diadain di Sumatera, pasti nggak asing dengan suasanan ini. Gimana Rifat Sungkar dengan Mitsubishi Evo-nya menerabas jalanan di perkebunan kelapa sawit. Hari ini aku sendiri yang merasakan, bedanya aku nggak ngerasain rasanya di belakang kemudi seperti halnya si bang Rifat. Kalo bang Rifat ada di balik kemudi dan di samping navigatornya, aku justru duduk di bak belakang ditemani adik-adik yang dengan rasa egonya teriak-teriak kegirangan dan setoples kacang bawang. Ya, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan.

Jalanan beraspal, lalu berdebu, dan mulai masuk ke jalanan berlumpur yang memaksa kami mengganti sistem gerak dari dua roda menjadi empat roda. BEhhhh... berasa banget rally-nya, walau cuma sebentar.

Setelah sekitar satu setangah jam perjalanan, tibalah kami di sebuah perkampungan yang kali ini agak berbeda dengan perkampungan seperti di sekitar rumah nenek. Disini tidak aku temukan rumah panggung. Semua yang ada disini rumah berdinding beton cetak yang belum di cat. Wajar aja, ini ternyata perkampungan transmigrasi. Warga disini juga heterogen, tidak seperti perkampungan tempat nenek yang homogen dengan penduduk asli. Disini ada juga penduduk keturunan Jawa. Makanya nggak heran kalo suasananya sedikit berbeda.

Kami bermalam di rumah bibi, dan pulang esok harinya.

Senin (14/9), kami berkemas untuk pulang. Perjalanan yang sama kami lalui. Perkebunan plasma kelapa sawit kembali kami lalui. Masih dengan suasana yang sama, tapi tanpa kacang bawang. Kami tiba di rumah nenek sekitar jam 9 pagi. Tanpa basa-basi, perjalanan kami lanjutkan kembali. Kali ini menuju Prabumulih, kota Nanas. Ada sanak yang ingin kami kunjungi di kota ini. Kota Prabumulih adalah sebuah kota administratif yang lumayan besar. Kota yang terkenal dengan nanasnya ini masih dalam wilayah Kabupaten Muara Enim. Ngomong-ngomong nanas, ibu sempat memborong beberapa ikat nanas dalam perjalanan. Mungkin lagi musim kali ya, di sepanjang jalan, banyak warga yang membuat lapak di depan rumah, menjajakan nanas yang menguning. Terbayang betapa segarnya nanas-nanas itu.

Sampai di rumah yang dituju. Ini adalah rumah keluarga dari garis ayah. Aku manggilnya Pakde. Dulu bapak semasa masih bujangan tinggalnya di rumah ini. Rumahnya bener-bener khas Jawa. Setelah sempat disuguhi makan siang, kami beranjak untuk pulang.

Perjalanan pulang kali ini sedikit dibebani rasa capek. Ya, emang agak beda dengan perjalanan pergi kemarin. Di rumah makan "Tahu Sumedang Renyah" tempat kami makan siang kemarin, kami cuma berhenti untuk beli tahunya, mengobati rasa penasaran setelah kemarin nggak sempat beli. Ternyata tahunya emang bener renyah kok. Nggak salah tu yang bikin embel-embel renyah.

Sampai kembali di Palembang sekitar jam setengah empat, setelah di perjalanan nggak terjebak macet seperti saat perjalanan pergi kemarin. Destinasi di kota pempek ini adalah loket penjualan tiket bus. Ah, agak males rasanya beli ni tiket. Maklum aja, ini tiket pulang ke Bogor. Beda rasanya kalo mau beli tiket pulang ke Palembang. Harga tiket rupa-rupanya nggak jauh beda dibanding tiket ke Palembang kemarin, cuma beda 70ribu. Seusai tiket didapat, perjalanan dilanjutkan kembali. Langsung go ke rumah. Dah capek banget....

Sampai di Sungai Lilin tercinta sekitar jam 8 malam. Ahhh... perjalanan seru di liburan kali ini ditutup dengan bersantap sate bersama. Nikmatnya.... Setelah sekian lama nggak makan sate kambing, akhirnya kecicip juga.

(habis)

Post a Comment

0 Comments