Ada sebuah lokomotif tua lengkap dengan gerbong-gerbongnya. Lokomotif ini penuh dengan segala kerusakan. Tak heran kecepatannya tak lebih tinggi daripada sebuah vespa. Sesekali lokomotif harus berhenti untuk memperbaiki kerusakannya. Disanalah nampak masinis-masinis renta yang tampaknya begitu setia dengan lokomotifnya. Sebenarnya banyak penumpang yang mulai merasa tidak nyaman dengan para masinis ini. Mereka terlalu tua, sudah selayaknya mereka pensiun. Namun, kereta tetap berlalu. Asap tebal tetap mengepul dari cerobong. Deru mesin lokomotif tetap terdengar. Lokomotif tua dengan masinis renta.
Tiba di sebuah stasiun, lokomotif tua berpapasan dengan lokomotif lain, pada rel yang berbeda. Sebuah lokomotif canggih nan mewah. Lokomotif dengan rangkaian gerbongnya yang menawarkan kenyamanan bagi para penumpang. Para masinis tampak mempersiapkan lokomotif dan gerbongnya. Melihat kemewahan lokomotif itu, banyak penumpang lokomotif tua yang turun dan pindah ke lokomotif mewah itu. Para masinis lokomotif mewah menyambut mereka dengan senyum. Sementara masinis-masinis lokomotif tua menjadi marah. Mereka mengancam para penumpang yang pindah.
Lokomotif mewah dan gerbongnya bersiap berangkat meninggalkan stasiun, bersamaan dengan lokomotif tua.
Tiba di sebuah stasiun, lokomotif tua berpapasan dengan lokomotif lain, pada rel yang berbeda. Sebuah lokomotif canggih nan mewah. Lokomotif dengan rangkaian gerbongnya yang menawarkan kenyamanan bagi para penumpang. Para masinis tampak mempersiapkan lokomotif dan gerbongnya. Melihat kemewahan lokomotif itu, banyak penumpang lokomotif tua yang turun dan pindah ke lokomotif mewah itu. Para masinis lokomotif mewah menyambut mereka dengan senyum. Sementara masinis-masinis lokomotif tua menjadi marah. Mereka mengancam para penumpang yang pindah.
Lokomotif mewah dan gerbongnya bersiap berangkat meninggalkan stasiun, bersamaan dengan lokomotif tua.
Itulah kira-kira yang menggambarkan perseteruan PSSI dengan pengelola Liga Primer Indonesia, kompetisi tandingan Indonesia Super League karya PSSI. Lokomotif tua merupakan liga besutan PSSI, dengan masinis tua yang dianalogikan sebagai para pengurus PSSI. Lokomotif modern nan mewah yang dianalogikan sebagai LPI dan masinisnya yang dianalogikan sebagai pengelola LPI.
Yah, yang kita tau, konsentrasi dunia sepakbola di negeri ini kini terfokus pada akan dilaksanakannya Liga Primer Indonesia besutan Arifin Panigoro dkk. Setelah sempat sebelumnya dibuat gegap gempita oleh kemeriahan AFF Cup. PSSI sebagai induk tertinggi olahraga permainan rakyat ini merasa diganggu. Bagaimana tidak, organisasi yang eksis lebih dari setengah abad itu merasa disaingi oleh pemain baru. Arifin Panigoro dkk dengan bangganya memperkenalkan sebuah konsep baru liga sepakbola dengan mengusung prinsip profesional kepada tiap klub peserta. Sebuah konsep yang sebenarnya sedang digalakkan PSSI melalui Superliga-nya.
PSM, Persema, dan Persibo adalah klub-klub Superliga yang akhirnya lebih memilih LPI. Persebaya yang sempat dibuat kesal oleh PSSI pada ketika menghadapi Persik Kediri pada playoff Superliga, juga dengan gembira menyambut hadirnya liga ini.
Menurut saya, tidak ada yang salah dari LPI. Konsep yang diperkenalkan kepada publik memang sangat brilian. Demi kemajuan sepakbola Indonesia. Sudah saatnya Indonesia punya liga sepakbola yang profesional dengan klub yang mandiri tanpa bergantung pada dana APBD. Sudah saatnya rakyat menikmati sajian sepakbola yang benar-benar profesional tanpa harus menyisihkan uang mereka. Ya, uang mereka, uang kita juga. Secara tidak kita sadari, kita sudah turut menyokong jalannya liga Indonesia melalui dana APBD, dana rakyat.
Sekali lagi tidak ada yang salah dari ide si penggagas LPI.
Namun, caranya memang kurang tepat. Bukan berarti pro PSSI. Saya juga menilai PSSI ada benarnya. Sesuai dengan aturan perundangan yang mengacu pada penyelenggaraan kegiatan olahraga tertentu, haruslah dibawah wewenang induk olahraga yang bersangkutan. Dalam hal ini sepakbola dimana PSSI sebagai induknya. LPI tidak bisa sekonyong-konyong menggelar liga sepakbola tanpa seizin PSSI. Lagipula, penyelenggara LPI merupakan pihak yang terpisah dari PSSI. Sehingga, menurut undang-undang, PSSI benar. Penggagas LPI justru berkilah, undang-undang itu hanya bisa dipakai dalam keadaan normal, sedangkan sekarang keadaanya tidak normal.
Ingat! Kita memang seringkali menyalahkan PSSI. Aroma politik yang kental di PSSI memang membuat kita merasa diombang-ambing oleh para petinggi disana. Di lain kasus, mungkin PSSI memang salah. Tapi bukan berarti kita bisa selalu menyalahkan pihak yang salah bukan?
PSSI sudah berusaha memperbaiki kualitas liga-nya. Konsep Superliga yang mulai menuju ke liga profesional patut kita dukung. Setidaknya ada langkah-langkah konkret menuju kesana. Misalnya saja transformasi klub peserta menjadi badan usaha yang mandiri. Klub diharuskan menghidupi dirinya dengan usaha mandiri yang tidak bergantung pada APBD. Perbaikan fasilitas juga diperhatikan dengan adanya verifikasi stadion. Bisa kita lihat sendiri beberapa stadion sudah mulai diperbaiki kualitasnya.
LPI yang baru akan menabuh genderang liga-nya pada sore ini, setidaknya sudah memberi dampak bagi persepakbolaan tanah air. Polemik seleksi tim nasional untuk SEA Games 2011 dan pra olimpiade adalah yang paling ramai. Tidak sedikit pemain yang klub LPI yang sangat layak mengikuti seleksi Tim Nasional. Namun, PSSI tampaknya memiliki aturan yang justru merugikan. PSSI mengeluarkan aturan mengecam pemain yang terlibat di LPI tidak dapat membela tim nasional. Padahal, sebut saja Irfan Bachdim yang sempat menjadi bintang, justru lebih memilih Persema yang berlaga di LPI, ketimbang mengikuti saran PSSI untuk pindah ke klub Superliga. Yah, pada akhirnya memang PSSI melunak dengan tetap memanggil para pemain yang membela klub-klub LPI untuk mengikuti seleksi tim nasional.
Mulai sore ini, mau tidak mau kita harus hidup di negara dengan liga sepakbola yang terpecah. Mau tidak mau, satu pihak harus mengalah. Demi sepakbola Indonesia yang makin maju, bukan makin tak jelas arah.
Yah, yang kita tau, konsentrasi dunia sepakbola di negeri ini kini terfokus pada akan dilaksanakannya Liga Primer Indonesia besutan Arifin Panigoro dkk. Setelah sempat sebelumnya dibuat gegap gempita oleh kemeriahan AFF Cup. PSSI sebagai induk tertinggi olahraga permainan rakyat ini merasa diganggu. Bagaimana tidak, organisasi yang eksis lebih dari setengah abad itu merasa disaingi oleh pemain baru. Arifin Panigoro dkk dengan bangganya memperkenalkan sebuah konsep baru liga sepakbola dengan mengusung prinsip profesional kepada tiap klub peserta. Sebuah konsep yang sebenarnya sedang digalakkan PSSI melalui Superliga-nya.
PSM, Persema, dan Persibo adalah klub-klub Superliga yang akhirnya lebih memilih LPI. Persebaya yang sempat dibuat kesal oleh PSSI pada ketika menghadapi Persik Kediri pada playoff Superliga, juga dengan gembira menyambut hadirnya liga ini.
Menurut saya, tidak ada yang salah dari LPI. Konsep yang diperkenalkan kepada publik memang sangat brilian. Demi kemajuan sepakbola Indonesia. Sudah saatnya Indonesia punya liga sepakbola yang profesional dengan klub yang mandiri tanpa bergantung pada dana APBD. Sudah saatnya rakyat menikmati sajian sepakbola yang benar-benar profesional tanpa harus menyisihkan uang mereka. Ya, uang mereka, uang kita juga. Secara tidak kita sadari, kita sudah turut menyokong jalannya liga Indonesia melalui dana APBD, dana rakyat.
Sekali lagi tidak ada yang salah dari ide si penggagas LPI.
Namun, caranya memang kurang tepat. Bukan berarti pro PSSI. Saya juga menilai PSSI ada benarnya. Sesuai dengan aturan perundangan yang mengacu pada penyelenggaraan kegiatan olahraga tertentu, haruslah dibawah wewenang induk olahraga yang bersangkutan. Dalam hal ini sepakbola dimana PSSI sebagai induknya. LPI tidak bisa sekonyong-konyong menggelar liga sepakbola tanpa seizin PSSI. Lagipula, penyelenggara LPI merupakan pihak yang terpisah dari PSSI. Sehingga, menurut undang-undang, PSSI benar. Penggagas LPI justru berkilah, undang-undang itu hanya bisa dipakai dalam keadaan normal, sedangkan sekarang keadaanya tidak normal.
Ingat! Kita memang seringkali menyalahkan PSSI. Aroma politik yang kental di PSSI memang membuat kita merasa diombang-ambing oleh para petinggi disana. Di lain kasus, mungkin PSSI memang salah. Tapi bukan berarti kita bisa selalu menyalahkan pihak yang salah bukan?
PSSI sudah berusaha memperbaiki kualitas liga-nya. Konsep Superliga yang mulai menuju ke liga profesional patut kita dukung. Setidaknya ada langkah-langkah konkret menuju kesana. Misalnya saja transformasi klub peserta menjadi badan usaha yang mandiri. Klub diharuskan menghidupi dirinya dengan usaha mandiri yang tidak bergantung pada APBD. Perbaikan fasilitas juga diperhatikan dengan adanya verifikasi stadion. Bisa kita lihat sendiri beberapa stadion sudah mulai diperbaiki kualitasnya.
LPI yang baru akan menabuh genderang liga-nya pada sore ini, setidaknya sudah memberi dampak bagi persepakbolaan tanah air. Polemik seleksi tim nasional untuk SEA Games 2011 dan pra olimpiade adalah yang paling ramai. Tidak sedikit pemain yang klub LPI yang sangat layak mengikuti seleksi Tim Nasional. Namun, PSSI tampaknya memiliki aturan yang justru merugikan. PSSI mengeluarkan aturan mengecam pemain yang terlibat di LPI tidak dapat membela tim nasional. Padahal, sebut saja Irfan Bachdim yang sempat menjadi bintang, justru lebih memilih Persema yang berlaga di LPI, ketimbang mengikuti saran PSSI untuk pindah ke klub Superliga. Yah, pada akhirnya memang PSSI melunak dengan tetap memanggil para pemain yang membela klub-klub LPI untuk mengikuti seleksi tim nasional.
Mulai sore ini, mau tidak mau kita harus hidup di negara dengan liga sepakbola yang terpecah. Mau tidak mau, satu pihak harus mengalah. Demi sepakbola Indonesia yang makin maju, bukan makin tak jelas arah.
Lokomotif modern nan mewah bersiap untuk berangkat. Begitu pula dengan lokomotif tua yang bersiap berangkat setelah singgah sejenak. Terlihat rona wajah yang berbeda dari para penumpang. Deru mesin mulai terdengar. Dua kereta berjalan, dengan tujuan yang mungkin saja berbeda. Aku yang duduk di pinggir rel berpikir, andai saja para masinis lokomotif mewah mau menggantikan para masinis lokomotif tua yang sudah renta itu. Atau setidaknya mau membantu mereka memperbaiki kerusakannya. Mungkin saja raut wajah kedua kereta akan sama cerianya
6 Comments
wah, no komeng dah. Ane kagak ngikutin persepakbolaan :p
ReplyDeletesi miftah komen dimana2 kayak gitu mulu --'
ReplyDeleteBTW, kalo masalah kompetisi ane pro sm LPI, bener2 di kelola dgn professional...
sayangnya aja mereka ga diakui FIFA,
tp menurut Undang Undang sah-sah saja kog...
kan sepakbola bukan hanya milik PSSI,
ngapain takut main di LPI :D
Waduhhh... Yang pasti sih cuma minta satu ajah deh demi eksistensi per SEPAK BOLA an Indonesia di Tanah Air Tercinta ini, Lakukan Yang Terbaik Saja...hehehe...
ReplyDeleteblogwalking,,
ReplyDeletesalam kenal juga,, ^_^v
buat naikin gengsi masing2, cba yah nanti pemeenaang LPI di adu lawan pmenang ISL... memperebutkan gengsi....
ReplyDeletesi miftah komen dimana2 kayak gitu mulu --'
ReplyDeleteBTW, kalo masalah kompetisi ane pro sm LPI, bener2 di kelola dgn professional...
sayangnya aja mereka ga diakui FIFA,
tp menurut Undang Undang sah-sah saja kog...
kan sepakbola bukan hanya milik PSSI,
ngapain takut main di LPI :D
Dear teman. Silakan berkomentar. Tapi khusus untuk post yang telah terbit > 7 hari, mohon maaf komentar kamu nggak langsung muncul, karena harus dimoderasi. Trims