Satu malam di Nagrak (part1)

"Mungkin belum banyak orang yang tau, dimana itu Nagrak. Atau mungkin, apa itu Nagrak.


Sebuah pengalaman berharga aku dapatkan di penghujung bulan September ini. Pengalaman yang memang makin membuat rasa ego sebagai seorang petani membumbung tinggi. Rasa ego yang membangkitkan semangat untuk segera turun ke lapang, merasakan bagaimana mulianya seorang petani."





Sabtu, 25 September 2010
Enak juga jadi "orang asing"
Pernahkah terbayangkan oleh kita, ada yang salah dari cara kita bertanam padi selama ini. Ada yang perlu diluruskan. Sesuatu yang tampaknya telah membudaya di masyarakat petani kita. Itulah yang aku dapatkan di pengalaman kali ini.

Mengikuti sebuah rangkaian acara dengan status sebagai "orang asing" belum tentu terasa nyaman. Dan aku menjadi sosok yang sempat merasakan hal itu. Bagaimana tidak, aku ada di antara orang-orang yang tidak semuanya aku kenal, dan tidak mungkin keluar dari suasana itu.

Aku menjadi satu-satunya peserta dari luar, aku dari Departemen TMB, sedangkan acara yang aku ikuti sebagian besar diikuti juga oleh teman-teman dari Departemen MSL, karena sebenarnya ini adalah acara mereka. Sebuah kesalahan memang, acara ini awalnya aku kira bukan diperuntukkan untuk satu golongan. Tapi ternyata.... yah, inilah yang harus dilalui di akhir pekan ini. Setidaknya merasakan menjadi "orang spesial". ^^

Sebuah kantor cabang bank swasta di sekitar kampus IPB tampaknya masih menjadi tempat favorit bagi mereka yang ingin berkumpul. Kebanyakan memang berkumpul karena ada satu tujuan yang sama, pergi ke satu tempat. Siang itu, sekitar jam satu siang, semua berkumpul. Terlihat muka-muka ceria menghiasi wajah mereka. Lima belas menit berlalu, wajah-wajah tadi mulai beralih kondisi. Hingga akhirnya dua setengah jam berlalu, gerutu dan candaan bernada kecewa mulai terdengar. Semua keluh kesah pecah menjadi sorak sorai ketika yang dinanti tlah tiba. Sebuah bus ukuran sedang berwarna putih aksen biru melintas di depan mereka. Inilah yang rupa-rupanya kita tunggu selama ini.

Sore itu, kami berangkat sekitar jam 3 sore. Sebuah suasana riang tercipta sepanjang perjalanan yang cukup melelahkan itu. Perasaan sebagai "orang asing" rasa-rasanya mulai luntur. Kesan akrab yang mereka tunjukkan seolah-olah membawaku masuk ke dalam suasana ini. Ternyata seru juga jadi orang spesial :)

Jalanan macet, ditambah rasa lelah karena efek negatif dari kursi bus, berhasil kami taklukkan dengan aura ceria yang sepertinya tercipta oleh mereka-mereka yang dengan setia berusaha menghibur, menghangatkan suasana. Aku mulai kagum pada mereka.

WoW!!
Perjalanan yang ceria mendekati akhir setelah mulai terbaca oleh kami, tulisan-tulisan papan nama, "Nagrak". Inilah nama yang membuat aku penasaran, dimana itu Nagrak. Selama ini, bukan "Nagrak" yang sering terdengar. "Nagrek" tampaknya lebih akrab di telingaku selama ini, sebuah nama yang selalu dikaitkan dengan area rawan macet, seringkali muncul saat musim mudik.

Sekitar jam delapan malam, bus berhenti. Perjalanan panjang setelah merayap dalam kemacetan rupanya berhenti disini. Sebuah tempat yang aku sendiri kurang bisa menatap jelas, karena memang sangat gelap. Tapi yang aku tau, inilah tempat yang dituju. Nagrak adalah sebuah desa kecil di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di desa inilah berdiri sebuah pusat penelitian dan pengembangan padi organik System for Rice Intensification (SRI).

Kata "padi" membawa pikiran kita pada sawah berair yang becek. Tapi jangan salah, bukan itu yang menyambut kami malam itu. Sebuah taman dengan desain yang apik, lengkap dengan balai-balai tempat mereka yang ingin bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Disana berdiri seorang lelaki paruh baya berkacamata. Teman-teman dengan segera menyalami lelaki itu. Ternyata beliau adalah dosen. Bukan hanya itu, beberapa petak sawah yang tampaknya begitu terawat walau kurang jelas terlihat karena gelap, turut menyambut. Hingga sampailah kami di sebuah tempat dengan konsep joglo. Disana sudah ada beberapa orang yang duduk. Tempat apa itu? Setelah semakin dekat melangkah, tampaklah disana telah siap sajian makanan yang tampaknya diperuntukkan bagi kami-kami yang lapar ini. Ternyata, benar saja. Setelah sedikit berbasa-basi, dengar bergiliran kami serbu sajian itu.

Rasa lapar yang sangat ditambah efek lelah memaksa kami untuk tidak malu-malu menyantap hidangan yang ada. Maklum, ini mungkin bukan satu hal yang sering dialami mahasiswa rantau seperti kami. Ini jelas bukan tandingan masakan ala warteg yang biasa kami pesan sepulang kuliah.

Proses balas dendam baru berakhir sekitar jam sepuluh malam. Memasuki acara selanjutnya, ini yang mungkin sedikit memberi efek kantuk, ada sedikit pemaparan presentasi. Hal yang biasa memang, duduk terpaku mendengarkan dosen berkicau di depan kelas, malam itu harus kami rasakan. Tapi, ada satu hal yang sedikit berbeda. Pasokan makanan terus beredar selama pemaparan berlangsung. Mulai dari bajigur, sejenis minuman hangat dengan aroma pandan. Lalu ada lagi kedelai rebus yang memaksa kami berolahraga mulut malam itu. Disusul kemudian makanan-makanan lain. Inilah yang mungkin bisa membuat tidak ada mahasiswa yang mengheningkan cipta saat kuliah berlangsung.

Ada suatu hal unik malam itu. Pemapar memperkenalkan seorang perempuan yang aku taksir berumur sekitar 30 tahun. Dengan bangga si pemapar memperkenalkan si perempuan yang ia panggil dengan "ibu Miyati" itu sebagai perempuan hebat. Seorang perempuan dari golongan petani, yang hanya bisa bersekolah sampai kelas lima SD. Minggu depan rencananya ibu Miyati akan berpresentasi tentang padi organik di Pulau Solomon, Amerika. Rasa kagum muncul malam itu. Setelah si bapak selesai memaparkan presentasinya, ibu Miyati akan kembali mempresentasikan materi yang sama, dengan bahasa Inggris. Keren juga ni ibu.

Tibalah saatnya ibu Miyati yang mengagumkan ini tampil. Perlahan-lahan ia buka penampilannya dengan ucapan salam, lalu dilanjutkan dengan kata maaf, "mohon maaf karena saya kurang bisa berbahasa Inggris", katanya. Ah, orang hebat memang biasa merendah, pikirku.

Satu demi satu kata bahasa Inggris keluar dari mulutnya. Aku yang kurang sering mendengar orang berucap dengan kata-kata Inggris sedikit merasa aneh dengan yang diucapkan ibu Miyati malam itu. Agak kaku memang. Terkesan seperti orang yang baru saja belajar.

Lima menit berlalu, beberapa slide presentasi juga bergantian berhulir. Namun, tutur kata bahasa Inggris yang terdengar tidak kunjung nyaman kudengar. Bahkan, ada beberapa kata yang aku rasa kurang cocok padanannya, tapi aku tetap bisa mengerti apa maknanya.

Kulihat, beberapa orang dari kami telah mengalihkan pandangannya. Kedelai dan pisang rebus tampaknya lebih menarik bagi mereka. Terdengar beberapa nada kecewa. Aku rasa mereka kecewa karena hal yang sama seperti yang aku rasakan.

Tapi tunggu dulu, ada satu yang patut kita kagumi dari sosok ibu Miyati. Ia punya keberanian dan kemauan yang kuat. Walau masih dengan memilih-milih kata ketika berucap, tapi ia punya kemauan dan keberanian serta pandai mengubur rasa malu. Itulah yang mungkin membuat nama dan fotonya tampil di majalah di luar negeri sana. Patut dicontoh!

(to be continued...)

Next: ternyata budaya kita salah...

Post a Comment

0 Comments