Menahan Putih, merengkuh Merah


Tanah Airku amat subur, dengarkanlah rayuan kalbuku
Kepadamu jiwaku berlagu, rayuan Tanah Airku

Tanah Air-ku Indonesia, negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulya, yang kupuja s'panjang masa

Tanah Air-ku aman dan makmur, pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan Bangsa sejak dulu kala

Melambai-lambai nyiur di pantai
Berbisik-bisik Raja K'lana

Memuja pulau yang indah permai
Tanah Airku Indonesia



Itulah lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki.

Mungkin masih membekas di benak kita perjuangan para pahlawan bangsa, mengorbankan tenaga, darah, bahkan nyawa - hanya demi satu kata, merdeka. Mereka tidak rela membiarkan negeri nan elok ini direbut begitu saja oleh koloni Belanda. Mereka berjuang, tiga setengah abad lamanya. Tentu bukan waktu yang sebentar. Penderitaan begitu perih, tiada henti.

Tiga setengah abad yang pilu berlalu. Namun, penderitaan belum selesai. Tiga setengah tahun yang kelam seakan datang. Jepang, negeri Asia Timur yang katanya negara terkuat di Asia saat itu - datang menggantikan Belanda. Penderitaan kembali menimpa, Indonesia kembali meronta. Kekejaman para kolonis Jepang melebihi kedigdayaan koloni Belanda.

Melalui perjuangan yang tak kenal henti, setelah darah dan nyawa menjadi korban, Indonesia merdeka. Tepat pada hari Jumat 17 Agustus 1945, putra-putra terbaik bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang sudah ditunggu jutaan rakyat Indonesia kala itu. Merah Putih berkibar di langit Indonesia. Rakyat bersorak gembira, inilah rasanya merdeka. Mereka seakan terbebas dari belenggu yang mengikat erat.

Kini, 64 tahun setelah masa-masa itu. Mari kita tengok sedikit negara kita. Kerusuhan disana-sini, kemelaratan yang tak berujung, hutang yang menumpuk, korupsi merajalela, terorisme seakan menjadi tontonan rutin, dan begitu banyak problem yang dihadapi bangsa ini.

Kemana larinya sang Putih? Kemana larinya Kesucian itu?

Bangsa ini seakan lupa pada perjuangan leluhurnya di masa lalu. Apalah artinya upacara peringatan yang kita adakan setiap tahun jika kita semua belum mengetahui apa sebenarnya esensi dari semua itu.


Keindahan Indonesia seperti dalam syair Ismail Marzuki diatas seakan-akan mulai tergerus roda zaman. Kerusakan alam dimana-mana terjadi, penebangan hutan, pembuangan limbah yang tak mengenal kompromi. Kita seakan menusuk jari kita sendiri. Lebih jauh lagi, hasil dari semua itu bukan sepenuhnya kita yang menikmati. Lihatlah hutan di Sumatera dan Kalimantan. Bendera Malaysia berkibar disana di atas perkebunan kelapa sawit mereka. Mereka rusak hutan kita, mereka ambil lahan kita, mereka nikmati hasilnya. Sementara Indonesia, hanya cipratan kecil saja yang kita dapat. Kita bergeser ke timur Indonesia. Disana ada tambang mineral yang katanya terbedsar di dunia. Ada Newmont, sebuah perusahaan multi-nasional asal Amerika Serikat yang setiap hari mengeruk kekayaan alam bumi Indonesia di Nusa Tenggara Timur. Sebuah hal yang ironis disini mengingat kontrak Newmont dengan pemerintah Indonesia seakan-akan merugikan pemerintah sendiri. Ibu pertiwi terus menangis.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi satu fenomena tersendiri di Indonesia. Peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2008 menduduki peringkat 126 dari 180 negara atau di atas negara Philipina, Laos, Kamboja dan Myanmar. tentu itu bukanlah suatu hal yang membanggakan.

Terorisme, seakan selalu menghiasi headline surat kabar dan breaking news televisi. Negara ini tak kunjung bisa memberantas tindak terorisme yang semakin menghancurkan bangsa. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan, pariwisata menurun, rupiah melemah.

Lalu kapan sang Merah bisa kita rebut kembali?


Dibalik itu semua, putra-putri terbaik bangsa telah menorehkan prestasinya. Lihatlah, beberapa kali kita sukses merebut medali di olimpiade pelajar. Betapa membanggakannya mendengar lagu kebangsaan kita berkumandang di negeri orang. Lihatlah di Bunaken, disana ada taman laut terbesar di dunia yang menyimpan keindahan alam bawah laut yang begitu menakjubkan.

Aku bangga jadi anak Indonesia. Aku bangga dengan negeriku.

Enam puluh empat tahun kita merdeka. Teringat satu statement dari sang proklamator,

Kita adalah bangsa yang cinta perdamaian. Namun kita lebih cinta pada kemerdekaan

Lalu, apa sebenarnya esensi dari kata "merdeka"?
Apakah merdeka itu hidup di tengah gemuruh kerusakan alam?
Apakah merdeka itu hidup di tengah jeritan kemiskinan?
Apakah merdeka itu hidup di tengah ancaman terorisme?
Apakah merdeka itu hanya teriak, hura-hura, dan kesenangan tanpa makna?

Jawablah...
Untukmu....
Merah Putih....
Indonesiaku....


Post a Comment

0 Comments